Gagal Tayang

Wayang, Seni dari Jawa yang Sarat Nilai Islami Sampai Toleransi.
          
Seperti masyarakat desa di Jawa pada umumnya, desa saya yang terletak di salah satu kota di Jawa Timur juga cukup sering mengadakan pertunjukan wayang, tujuan diadakan pertunjukan tersebut sebagai bentuk rasa syukur akan kebahagiaan yang didapatkan orang yang menggelar wayang, biasanya juga diadakan untuk peringatan akan suatu peristiwa yang dianggap penting. Saat saya masih belajar di  jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP), waktu itu ada  acara pemilihan kepala desa, setelah pemenang diumumkan, lantas calon yang terpilih melakukan syukuran dengan mengadakan pertunjukan wayang, pertunjukan wayang diadakan dari malam hari setelah isya’ sampai menjelang subuh, cukup ramai yang datang, baik dari kalangan orang tua sampai anak-anak juga banyak yang datang, meskipun tidak semua yang datang khusus untuk melihat wayang, ada juga yang cuma ingin keluar malam dan jajan di sekitar lokasi pertunjukan wayang. 
Nenek saya pernah bilang ,"lek enek wayang iku rame, akeh wong tuek seng demen ndelok wayang" yang berarti "kalo ada pertunjukan wayang itu ramai, banyak orang tua yang suka lihat wayang". Hal itu tidak bisa dipungkiri karena wayang memang ada dari jaman dulu di Jawa, dimana wayang dipertunjukkan dari generasi ke generasi secara turun-temurun (bahkan sebelum para kolonial datang sudah ada), dengan  pertunjukannya yang menarik serta penuh akan nilai moral, sampai sekarang wayang tetap eksis dan sering dipertunjukkan.
Kalau kita mau sedikit menengok kebelakang mengenai sejarah dari wayang sendiri, wayang pada zaman dulu bisa dibilang sangat sakral, menurut buku yang pernah saya baca karangan Subur Widadi mengenai wayang, seni populer dari Jawa ini berasal dari kata hyang atau dahyang, dimana bisa kita ketahui jika nenek moyang kita dahulu mayoritas menganut kepercayaan Animisme yang mirip dengan ajaran Kapitayan, yakni menyembah roh-roh nenek moyang. 
Orang-orang dulu berkeyakinan jika roh-roh para leluhur atau tokoh Jawa itu memiliki kekuatan yang bisa memberi kita pertolongan di dunia ini, lalu untuk memudahkan melakukan pemujaan atau bersembahyang kepada roh-roh tersebut, nenek moyang kita membuat hyang atau dahyang dalam bentuk patung yang menyerupai manusia, jadi mereka bersembahyang layaknya orang yang memuja berhala pada masa jahiliyah, selama melakukan pemujaan itu selalu dibarengi dengan pemberian sesaji dan mengucapkan mantra-mantra suci agar roh baik pada patung tersebut bisa memberikan bantuan bagi para pemujanya. 
Dari kegiatan tersebut telah diadaptasi sehingga terciptalah pertunjukan wayang, sebelum ada Wayang Kulit yang sering digelar sekarang ini ternyata sudah ada Wayang Batu dan Wayang Beber, kedua jenis wayang itu memiliki persamaan dimana keduanya bersifat sakral berbeda dengan Wayang Kulit yang bersifat normal. Untuk Wayang Batu sendiri tertera pada relief candi-candi, contohnya terdapat pada Candi Sukuh dan Penataran, sedangkan pada pertunjukan Wayang Beber sendiri dapat ditandai dengan adanya orang yang menjadi Syaman atau yang bertugas sebagai dalang, dimana selama pertunjukkan dia wajib melafalkan mantra-mantra dan menyajikan sesaji, tujuannya agar orang tersebut bisa dirasuki oleh roh yang dipanggil, lalu saat kerasukan roh tersebut Syaman akan mengucapkan cerita moral, tata krama, wejangan-wejangan yang dijadikan pegangan orang yang melihat acara wayang pada waktu itu. Oleh karena itu tidak sembarang orang bisa menjadi Syaman, hanya orang yg bisa berkomunikasi dengan leluhurlah yg bisa mengemban tugas tersebut. untuk pertunjukan Wayang Beber dapat kita ketahui dengan adanya gulungan yang dibeber ( gulungan yang dibuka) di depan Syaman, yang isinya adalah adegan per adegan yang telah dilukikas dalam setiap gulungan tersebut. 
Setelah kerajaan Islam  Demak  Bintoro berdiri Islam juga semakin berkembang pesat di Jawa, hal ini didukung dengan semakin melemahnya kerajaan bercorak Hindhu-Budha seperti Majapahit. Atas kebijakan dan pertimbangan para wali, mereka tidak serta merta mengharamkan segala sesuatu yang bukanlah bentuk dari ritual atau kebudayaan Islam, hal ini juga mereka terapkan pada seni perwayangan. Wayang yang kental akan kebudayaan Animisme, dan Hindhu-Budha, berhasil dimodifikasi oleh para wali untuk sarana mendakwahkan Islam, langkah bijak untuk menghilangkan unsur diluar Islam dilakukan tanpa menyinggung kepercayaan agama lain yakni dengan mengganti bentuk wayang yang semula berbentuk patung atau manusia diganti dengan bentuk yang lebih imajinatif. 
Hal tersebut tertuang  pada bentuk Wayang Kulit sekarang yang menyerupai tubuh manusia namun tidak proporsional, tokoh Wayang Kulit dibuat seperti animasi yang berkaki pendek dan berbadan pipih, contoh ciri khas dari Wayang Kulit yang bisa kita amati adalah wayang yang memakai mahkota, bisa dipastikan jika itu adalah raja, dan wayang yang memiliki rambut tertata  berarti  para kesatria. Nilai toleransi juga tertuang dari bahan yang digunakan untuk pembuatan Wayang Kulit, dimana untuk menghormati masyarakat Hindu -Budha pada waktu itu, salah satu wali Allah Sunan Kalijaga tidak menggunakan bahan kulit sapi tapi dengan kulit kerbau atau dengan bahan lainnya.
Dari pemaparan diatas bisa menjadi salah satu bukti, jika wayang bukan hanya seni tapi begitu banyak mengandung nilai-nilai yang tertuang didalamnya. Tak salah jika wayang sudah diakui oleh UNESCO sebagai salah satu warisan budaya dunia, seni yang menjadi salah satu kebangaan masyarakat Jawa ini, sudah sepatutnya terus dilestarikan dan diperkenalkan ke semua generasi, apalagi untuk khalayak luar hingga mancanegara, karena  sebenarnya wayang itu bukan hanya seni, tapi juga mampu menjadi contoh representasi akan keberagaman yang ada di Nusantara khususnya di Pulau Jawa.

Sumber inspirasi buku : Sejarah Penaklukan Jawa.

Komentar

Postingan Populer